Kamis, 25 Agustus 2011

** Busana Khas Orang Baduy


Busana Khas Orang Baduy

Oleh: K. Muhamad Hakiki

Keunikan lain yang dimiliki Orang Buday ketika saya berkunjung terlihat dari cara mereka berbusana. Bentuk busana yang mereka gunakan sangat alami—jauh dari sisi khas berpakaian masyarakat dunia modern yang di desain dengan alat tehnologi yang canggih  seperti apa yang biasa kita pakai sekarang.

Dilihat dari sisi pola berbusana yang mereka kenakan—antara Orang Baduy Tangtu dan Panamping—menurut mereka pada prinsipnya sama. Dalam pandangan Orang Baduy, hal ini diyakini karena mereka berasal dari satu keturunan yang sama, yang memiliki keyakinan, tingkah laku, cita-cita, antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Kalaupun ada sedikit perbedaan dalam berbusana, menurut mereka perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar, model dan warnanya saja. Meskipun begitu, jika dilihat dari kepatuhan mereka dalam mengenakan busana yang berbeda tersebut pastilah mempunyai prinsip yang tak bisa dicampuradukkan.

Busana yang dikenakan oleh Orang Baduy Tangtu berwarna putih atau biru. Dengan pola berpakaian seperti itu, orang Baduy Tangtu yakin bahwa pakaian yang mereka kenakan dan serba putih polos itu sebagai simbol makna suci bersih atau kesucian. Sedangkan untuk Orang Baduy Panamping berwarna hitam. Untuk Baduy Tangtu, pakaian yang biasa digunakan oleh para pria Baduy dicirikan dengan tiga bagian;

Pertama, dengan memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang. Istilah itu muncul karena biasanya mereka memakai baju dengan cara disangsangkan atau dilekatkan di bagian bahu badan. Desain baju sangsang ini hanya dilubangi atau dalam istilah sunda dicoak pada bagian leher sampai bagian depan dada. Potongan bajunya tidak memakai kerah, tidak memakai kancing bahkan tidak dilengkapi dengan kantong baju seperti yang biasa kita pakai.

Kedua, Adapun untuk pakaian bawahnya, mereka menggunakan kain serupa sarung atau rok yang berwarna biru kehitaman. Cara memakainya hanya dililitkan pada bagian pinggang yang disebut dengan aros. Untuk mengencangkannya dan agar tidak melorot, maka sarung tadi diikat dengan selembar kain. Hal ini dilakukan karena lelaki Baduy Tangtu tidak mengenakan celana dalam.

Ketiga, Yang menarik dari busana masyarakat Baduy adalah kekhasannya dalam memakai ikat kepala berwarna putih untuk orang Baduy Tangtu. Ikat kepala ini berbentuk segitiga dan berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk.

Semua pakaian yang dikenakan oleh orang Baduy dikerjakan secara mandiri oleh mereka tanpa bantuan tehnologi. Adapun proses pembuatan baju-nya adalah diharuskan hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin, hal ini dilakukan menurut mereka demi untuk menjaga kealamian tradisi. Dilihat dari bahan dasarnya, busana yang dipakai orang Baduy terbuat dari benang kapas asli yang ditenun dari serat daun pelah.

Di samping busana wajib yang dikenakan di atas, Orang Baduy biasanya selalu membawa tas yang terbuat dari kulit pohon. Tas itu mereka sebut dengan tas koja yang berfungsi sebagai alat untuk membawa bekal. Asesoris busana lainnya yang kerapkali dibawa oleh orang Baduy adalah senjata tajam sejenis golok yang diselipkan di pinggang. Keberadaan golok ini bagi mereka di samping sebagai alat jaga diri, yang lebih penting dari itu menurut mereka adalah dalam rangka mempermudah mereka beraktivitas, mengingat mereka lebih banyak hidup di areal hutan yang membutuhkan keberadaan alat itu.

Berbeda dengan busana Baduy Tangtu, busana yang dikenakan oleh Orang Baduy Panamping, adalah sejenis baju kampret berwarna hitam. Bahkan ikat kepala yang merupakan identitas kekhasan masyarakat Baduy pun berwarna biru tua dengan corak batik. Sedangkan desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah—seperti baju yang biasa dipakai layaknya masyarakat umum di laur Baduy. Desain baju-nya pun sudah bervareasi, mereka sudah mengunakan kantong, kancing dan bahan dasar pakaiannya pun tidak diharuskan dari benang kapas murni seperti apa yang digunakan oleh Orang Baduy Tangtu.

Jika dilihat dari cara berbusana Orang Baduy Panamping di atas, maka terlihat ada sedikit kelonggaran adat bila dibandingkan dengan Orang Baduy Tangtu seperti apa yang dijelaskan di atas. Adanya perbedaan dan kelonggaran ini, baik dalam bentuk warna, model atau pun corak busananya, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah mulai terpengaruh oleh kehidupan masyarakat luar Budaya.

Yang lebih unik dari masyarakat Baduy pria—baik itu Baduy Tangtu maupun Baduy Panamping—adalah kekhasannya dalam menggunakan atribut busana yaitu senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya serta dilengkapi dengan tas atau dalam istilah masyarakat Baduy disebut dengan tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya, dan ini biasanya dipakai ketika mereka hendak bepergian. Bagi kaum laki-laki Baduy rasanya belum sempurna berpakaian jika mereka tidak memakai senjata dan tas koja di setiap kali hendak bepergian.

Berbeda dengan busana yang dipaki oleh kalangan pria, dikalangan perempuan Baduy, antara kaum perempuan—baik Baduy Tangtu maupun Baduy Panamping tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai sekitar dada. Busana seperti itu biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. Akan tetapi bagi perempuan yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis, buah dadanya harus tertutup dengan rapi.

Berbeda dengan pakai yang biasa dikenakan sehari-hari, kaum wanita Baduy terlihat perbedaan ketika mereka sedang bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, dan dilengkapi dengan kain ikat pinggang dan selendang.

Adanya perbedaan cara dan warna busana antara Baduy Tangtu dan Baduy Panamping di atas adalah indikasi bahwa orang Baduy Tangtu merupakan paroh masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat nilai-nilai   budaya   warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini berbeda dengan orang Baduy Panamping yang sudah mulai mengenal kebudayaan luar. Jika dilihat perkembangannya, keberadaan orang Baduy Panamping akhir-akhir ini sudah mulai menunjukan adanya perubahan atau perbedaan—meskipun sebenarnya masih terbilang kecil. Bahkan lebih dari itu, pada lingkungan masyarakat Baduy Panamping seolah-olah sudah mulai memperlihatkan adanya perbedaan berdasarkan status sosial, tingkat umur, maupun fungsinya. Dari faktor itu-lah diduga penyebab munculnya istilah “Baduy Tangtu dan Baduy Panamping”. Meskipun begitu, adanya perubahan cara berbusana yang terjadi pada orang Baduy Panamping terjadai bukan karena faktor sengaja. Perubahan ini terjadi secara alami diakibatkan semakin luasnya jaringan interaksi antara orang Baduy Panamping dengan masyarakat luar.

Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat orang Baduy melakukannya dengan cara menenun sendiri yang biasanya dikerjakan oleh kaum wanita. Bahan dasar busana itu didapatkan dari hasil menanam biji kapas, kemudian dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motif khasnya.

Penggunaan warna untuk pakaian juga didapatkan dengan cara alami dari alam, dan biasanya racikan warna itu hanya terfokus pada warna hitam, biru tua, putih dan merah sebagai bahan campuran. Kain sarung atau kain yang biasa dipakai oleh kaum wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah. Semua hasil tenunan yang dihasilkan oleh kaum wanita suu Baduy tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Kegiatan kerajinan bertenun bagi kaum wanita Baduy biasanya dilakukan oleh pada waktu saat setelah panen.

Bagi kaum pria orang Baduy, selain mereka bercocok tanam, mereka pun kerapkali melakukan kegiatan-kegiatan yang menghasilkan sebagai sarana melanjutkan kehidupan. Biasanya kaum pria Orang Baduy membuat kerajinan golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.

Keseragaman masyarakat Baduy dalam berpakaian ini dilakukan dengan beberapa alasan; Pertama, merupakan ajaran dari leluhur harus seragam. Kedua, ciri atau identitas khas kelompok. Menurut mereka, jika orang Baduy tidak seragam—berpakaian seperti di atas—nanti tertukar antara orang Baduy dengan orang non Baduy dan intinya jangan sampai menyerupai penampilan orang luar. Ketiga, warna hitam-putih sebagai lambang dari waktu malam dan siang. Artinya manusia itu jangan terlalu banyak pikiran, sebab alam saja hanya ada dua pilihan: malam atau siang; ada senang, ada susah; ada gelap ada terang, dan itu abadi.

Sisi unik lainya yang terlihat unik pada masyarakat Baduy Tangtu maupun Baduy Panamping dalah sama-sama tidak beralas kaki, hal ini dilakukan karena menurut mereka:  Pertama, cara tersebut adalah ketentuan mutlak leluhur yang mewajibkan harus seragam. Kedua, kalau pakai alas kaki, dihawatirkan nanti akan menghilangkan ciri khas Baduy. Ketiga, kondisi geografis. Kondisi geografis daerah Baduy yang terjal dan berbukit-bukit  dapat membuat alas kaki cepat putus, dan akan tetap kotor. Keempat, dengan tidaknya memakai alas kaki, mereka merasakan alam karena menggambarkan keseimbangan dan kelestarian alam.

Dari uraian cara berbusana orang Baduy di atas, bisa dipahami bahwa busana yang dikenakan oleh mereka bukanlah hanya sekedar untuk melindungi tubuh saja, melainkan juga bernilai sakral, di samping juga sebagai identitas budaya yang khas dan semuanya itu merupakan warisan budaya dari karuhun atau nenek moyang yang harus dijaga dan dilestarikan. Dari sini nampaknya nilai filosofis dan pesan moral yang bisa kita ambil teladan sebagai contoh kehidupan positif dari masyarakat Baduy, meskipun mereka  tidak mengeyam pendidikan formal seperti kita.**

** Jika saudara hendak mengutip sebagian atau seluruh isi tulisan dari blog ini, mohon untuk mencantumkan asal rujukannya (baduybantenheritage.blogspot.com). Terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar