Rabu, 24 Agustus 2011

** Huma Baduy

Kegiatan Berladang Orang Baduy;
Rutinitas dalam Kebersamaan

Oleh: K. Muhamad Hakiki

Pada hari sabtu tepatnya jam 15.30 sore hari, saat saya untuk kesekian kalinya menginjakan kaki di tanah Baduy. Saat saya turun dari sebuah mobil di areal wilayah Baduy Panamping. Pandangan mata saya pun langsung tertuju pada sekelompok warga Baduy yang ternyata sebuah keluarga yang nampaknya baru pulang dari beraktivitas. Saya pun dengan sepontan menanyakan kepada salah satu di antara mereka, dan mereka pun menjawabnya “kakarek balik ti huma” (baru pulang dari huma (ladang).

Mendengar jawaban itu, saya pun berfikir ternyata antara laki-laki dan perempuan Baduy tidak ada perbedaannya dalam beraktivitas khususnya di ladang. Rutunitas kerja itu pun mereka lakukan setiap hari secara bersama-sama tanpa mengenal apakah itu pekerjaan untuk laki-laki atau pun perempuan. Semuanya mempunyai kewajiban yang sama demi mempertahankan hidup mereka.

Masyarakat Baduy hanya mengenal sistem bercocok tanam padi di ladang atau huma. Mereka tidak mengenal model pertanian sawah dengan sistem irigasi layaknya seperti masyarakat luar Baduy. Tidak dikenalnya model pertanian berbentuk sawah bukan karena mereka tidak mengetahuinya, akan tetapi adanya aturan adat Baduy yang melarang warganya untuk tidak merubah struktur tanah. Dan kegiatan bersawah bagi masyarakat Baduy adalah salah satu kegiatan pertanian yang mengharuskan merubah struktur tanah. Di samping adanya alasan aturan adat yang melarang warga Baduy untuk bercocok tanam dengan model bersawah, akan tetapi jika dikaitkan dengan letak geografis komunitas Baduy, maka pola bercocok tanam dengan cara bersawah adalah sebuah kegiatan yang tidak mungkin untuk dilakukan, karena memang mayoritas tanah Baduy berbukit.

Kegiatan berladang bagi warga Baduy adalah salah satu kegiatan pokok. Dalam beraktivitas di Ladang, mereka tidak mengenal apakah itu berjenis kelamin laki-laki atau perempuan bahkan tua, muda dan anak-anakpun semua ikut rembuk berkerja di Ladang atau menurut istilah mereka ber-huma. Suasana kebersamaan yang mungkin sulit kita temukan di masyarakat luar Baduy.

Sampai saat ini, masyarakat Baduy masih meyakini bahwa tanah Baduy atau dalam istilah mereka tanah Kanekes merupakan tanah yang suci dan sakral yang tidak boleh disia-siakan apalagi dirusak. Karena itu, memelihara kuutuhan tanah Baduy adalah sebuah kewajiban bagi seluruh warga Baduy.[1] Menurut kepercayaan mereka, apabila tanah Baduy tidak dipelihara dengan baik, maka akan berakibat tidak saja kepada orang-orang Baduy sendiri, akan tetapi juga kepada semua masyarakat yang ada di luar Baduy. Kesakralan akan tanah bagi masyarakat Baduy terlihat dari rutinitas seluruh waktu dalam kehidupan orang Baduy sepanjang tahun-nya dikaitkan dan dihabiskan untuk pelaksanaan upacara yang berhubungan dengan berladang atau berhuma.

Jika diperhatikan pola perladangannya, masyarakat Baduy dalam melakukan pekerjaannya sebagai petani lahan kering melakukannya dengan cara berpindah-pindah dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Berladang bagi masyarakat Baduy dilakukan dengan masa perputaran 5 sampai 7 tahun. Hal ini berarti mereka kembali berladang di tanah semula setelah 5 atau 7 tahun kemudian.

Dalam komunitas Baduy dikenal beberapa lokasi tempat ber-huma;

1). Huma Serang (yang berada di wilayah Baduy Tangtu). Padi hasil berhuma di areal huma serang ini biasanya hanya diperuntukan bagi upacara sacral kapuunan. Karena hasil panen padi dari huma serang diperuntukan untuk kebutuhan ritual, maka biasanya dikerjakan secara bersama-sama baik itu oleh warga Baduy Tangtu maupun Baduy Panamping. Ketika masa panen tiba, seluruh warga Baduy sebelum mereka memanen hasil huma milik sendiri, maka mereka harus terlebih dahulu memanen huma serang. Lokasi huma serang pun berpindah-pindah dan pemilihan lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat huma serang pun dilakukan atas petunjuk Puun. Keberadaan huma serang hanya berada diwilayah Desa Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo. Dalam pengurusan sehari-hari, huma serang berada di bawah tanggun jawab girang saurat. 

2). Huma Puun. Lokasi huma puun ini adalah lokasi berhuma yang secara khusus diperuntukan untuk keperluan puun beserta keluarganya selama ia menduduki jabatan tersebut; lokasi huma puun berada di wilayah Baduy Tangtu dan luas huma puun, tiga kali lebih luas dari huma milik warga Baduy. Dalam pengerjaan huma puun ini, biasanya di bantu oleh para warga secara bergiliran.

3). Huma Tangtu. Areal huma ini secara khusus disediakan untuk keperluan penduduk Baduy Tangtu; Jika pemilihan lokasi huma serang, dan huma puun ditentukan oleh puun sendiri, maka tidak dengan lokasi huma tangtu yang pemilihannya secara langsung dilakukan oleh kepala keluarga masing-masing.

4). Huma Tuladan. Areal huma seluas satu hektar ini secara khusus diperuntukan untuk keperluan upacara di daerah Panamping. Lokasi huma tuladan berada di kampung Cihulu, Cipondok, Cibengkong, Cihandam, dan dikelola oleh masyarakat Baduy Dangka. Sedangkan huma tuladan yang berada di kampung Kaduketug dan Gajeboh dikelola oleh kokolotan.

(5) Huma Panamping adalah areal khusus berhuma  untuk keperluan penduduk Panamping. Pemilihan lokasi huma penamping sama saja dengan huma tangtu yaitu oleh kepala keluarga masing-masing. Sedangkan luas huma panamping diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing keluarga berdasarkan tingkat kemampuannya menggarap.

Ketika masing-masing lokasi huma sudah ditentukan, maka seluruh warga Baduy—baik laki-laki maupun perempuan—secara bersama-sama mulai mengolahnya. Sebelum pengolahan lahan huma di mulai, biasanya terlebih dahulu diadakan serangkaian acara ritual adat yang tujuannya agar hasil panen nanti sesuai dengan apa yang diinginkan.

Ketika mereka hendak mengolah lahan huma, maka tanda-tanda alam pun menjadi pertimbangan penting buat orang Baduy. Tanda alam yang dimaksud adalah kemunculan bintang kidang,[2] begitu mereka menyebutnya. Menurut kepercayaan orang Baduy sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang sesepuh Baduy mengatakan: “urang Baduy mah lamun ngahuma satahun sakali nyokot anggaran ka bintang” (Artinya: orang Baduy kalau berhuma (berladang) setahun sekali mengambil patokan dari bintang kidang).[3]

Ketika bintang kidang sudah mulai muncul, maka seluruh masyarakat Baduy siap-siap untuk turun ke ladang atau berhuma. Semua peralatan berladang pun di bawanya termasuk perbekalan untuk makan pun tak tertinggal, mengingat kegiatan berladang dilakukan sampei sore hari. Dalam kegiatan berladang ini, tidak ada orang tua, muda, laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak pun pergi ke ladang. Aktivitas di rumah pun terhenti dan digantikan dengan kegiatan berhuma.

Dalam kegiatan berladang Baduy, dikenal beberapa tahapan;

Pertama, adalah tahap yang disebut dengan “narawas”. Dari sisi bahasa, “narawas” berasal dari kata kerja “tarawas” yang bermakna “merintis”. Jika dilihat dari definisi lengkap yang dikenal oleh masyarakat Baduy, maka “narawas” adalah sebuah kegitan permulaan dalam rangka mencari tempat yang akan dijadikan untuk ber-huma. Pemilihan tempat ini dilakukan oleh kepala keluarga dengan dibantu oleh anak yang paling besar. Kegiatan ini dilakukan setelah kemunculan bintang kidang yakni pada bulan kapat.

Jika sudah ditentukan lahan yang akan dijadikan huma, maka biasanya masing-masing keluarga Baduy memberikan ciri; baik itu berupa batu, batu asahan, dan tanaman kunyit agar tidak tertukar. Yang menarik dari kegiatan ini, adalah keharusan adanya restu puun di setiap pemilihan lahan yang akan dijadikan huma. Dalam kegiatan narawas ini, ada beberapa hal yang sakral dan tidak boleh dilanggar, di antaranya; ketika orang Baduy sudah menemukan lahan untuk dijadikan huma, maka ditempat itu ia tidak boleh meludah, berbicara kotor, kentut, memakai pakaian kotor, dan diharuskan menggunakan ikat kepala.

Kedua, setelah ditentukan lahan untuk berhuma, maka kegiatan selanjutnya adalah “nyacar”. Nyacar adalah kegiatan membersihkan lahan dengan cara menebas rerumputan, atau semak belukar, menebang pohon kecil, memangkas dahan pohon-pohon yang besar yang ada di sekitar tempat yang akan dijadikan ber-huma. Prosen nyacar ini biasanya dilakukan pada bulan kelima yang dilakukan oleh masyarakat Baduy yang sudah dewasa—baik laki-laki maupun perempuan.

Ketiga, tahap nukuh. Proses nukuh adalah tahapan proses kegiatan mengeringkan dan menumpuk rerumputan atau dahan pohon, semak belukar yang telah dibersihkan pada tahap nyacar. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan Baduy.

Keempat, ngaduruk. Istilah ini bermakna membakar. Maksudnya adalah kegiatan membakar rumput, dahan pohon yang bertumpuk dan sudah kering. Bagi masyarakat Baduy, proses ini harus dilakukan karena dalam bahasa mereka “kidang ngarangsang kudu ngahuru”, artinya pada saat pelaksanaan “ngahuru”, maka ditandai dengan kidang rumangsang yang berarti bintang kidang sedang bercahaya sangat terang pada waktu subuh. Kegiatan ngaduruk, biasanya dilakukan pada bulan katujuh. Pada bulan katujuh ini, seluruh wilayah Baduy dipenuhi asap tebal sebagai tanda mereka sedang “ngaduruk”.

Yang manarik dan harus dipelajari oleh kita adalah, meskipun rutinitas ngaduruk selalu dilakukan setiap tahun ketika berhuma, akan tetapi sampai saat ini belum pernah terjadi yang namanya kebarakan hutan. Ketika masyarakat Baduy melakukan proses ngaduruk, mereka secara bergantian saling menjaga agar api tidak menjalar kemana-mana. Ketika mereka hendak meninggalkan lahan yang sedang di bakar, maka ia selalu memastikan bahwa yang dibakar tersebut betul-betul sudah mati. Abu hasil pembakaran ranting pohon tersebut biasanya dibiarkan begitu saja sambil menunggu hujan turun. Kebiasaan ini dilakukan karena menurut mereka, abu tersebut bisa menjadi pupuk, dan jika kena hujan, maka pupuk tersebut pun merata kesemuan lahan.

Kelima, ngaseuk. Istilah ini terambil dari kata benda “aseuk” yang berarti “tugal”. Dengan demikian “ngaseuk” berarti “menugal” yang artinya kegiatan membuat lubang kecil dengan menggunakan “aseukan” atau alat me-nugal (membuat lubang). Lubang kecil yang dibuat tersebut kemudian di tanami benih padi huma. Dalam istilah Baduy, menanam padi yang diletakan ke lubang disebut dengan muuhan.

Dalam kegiatan ngaseuk ini biasanya dilakukan oleh pria dewasa, sedangkan menanam benih padi atau muuhan dilakukan oleh wanita dewasa. Dalam kegitan ngaseuk ini biasanya dimulai dari huma serang pada bulan ketujuh, kemudian huma puun pada bulan kedelapan, dan huma tangtu pada bulan kasalapan, dan diakhiri di huma tuladan dan huma panamping pada bulan kasapuluh.

Sebelum kegiatan ngaseuk ini dimulai, ada beberapa tahapan lain yang biasa dilakukan dan bernilai sakral. Kegiatan itu disebut dengan “nyoo binih” (memelihara benih atau mengolah benih). Kegiatan ini biasanya dilakukan sehari sebelum ngaseuk dimulai.  Prosesi ritual nyoo binih dimulai dengan ritual nurunkeun binih atau menurunkan padi dari leuit (lumbung). Yang menariknya, ritual ini harus dilakukan oleh wanita. Dalam prosesinya, wanita tersebut harus mengenakan selendang berwarna putih, dan memakai gelung atau sanggul. Dalam prosesi ini juga dilarang untuk bercakap-cakap. Upacara ini bagi masyarakat Baduy dikenal dengan sebutan “ngagugahkeun Nyi Pohaci” (membangunkan Nyi Pohaci). “ngagugahkeun Nyi Pohaci” biasanya dilakukan oleh istri Girang Saurat. Ketika istri Girang Saurat melakukan ritual ini, maka ucapan atau mantra yang biasa dibacakan adalah;

“Tabe, Nyi Pohaci Sang Hiyang Asri
Hayu urang ngalih ka weweg sampeg
ka mandala pageuh
mangka tetep mangka langgeng
balik ka imah beurang keneh”

Artinya:
“Maaf, Nyi Pohaci Sang Hiyang Asri
Mari kita pindah ketempat yang kokoh dan teguh
Ke tempat yang kukuh
Semoga tetap, semoga abadi
Pulang ke rumah masih siang”

Setelah padi diambil dari lumbungnya, maka diletakkan di atas tampah kemudian padi pun diirik dan diinjak-injak agar butiran padi rontok dari rantingnya. Kemudian setelah semua padi rontok dari rantingnya, maka padi pun dipindahkan ke dalam bakul. Dan salah satu bakul yang berisi padi pun pada malam harinya kemudian di bawa ke alun-alun untuk menjalani prosesi ritual lanjutan.[4] Di alun-alun tersebut, bakul yang berisi padi tersebut dikelilingi oleh para pemangku adat—yang dalam bahasa mereka disebut dengan kokolot dibarengi dengan iringan suara angklung. Kesemuanya itu harus dilakukan oleh pria Baduy. Setelah itu, maka bakul tersebut dibacakan mantra oleh para kokolot lembur dan disaksikan oleh seluruh warga Baduy. Salah satu perwakilan kokolot berpidato yang isinya biasanya adalah;

Anten pihantureun ka baris kokolot
Nyi Pohaci Sang Hiyang Asri ndeuk direremokeun ku
Kami ka bumi
Isukan ndeuk dikawinkeunana
Mangka langgeung mangka tetep huripna
Jayana Nyi Pohaci Sang Hiyang Asri

Artinya:
Ada yang akan dikatakan pada para tetua
Nyi Pohaci Sang Hiyang akan kami jodohkan kepada bumi
Besok akan dilangsungkan perkawinannya
Semoga lestari semoga tetap kehidupannya dan kejayaannya
Nyi Pohaci Sang Hiyang Asri

Ketika selesai pidato, maka seluruh warga secara serempak menjawabnya dengan ucapan;

Nyakseni mangka lulus, mangka hirup
Nagka tetep, mangka langgeng huripna
Nyi Pohaci Sang Hiyang Asri
Repok jeung bumi ti paratiwi

Artinya:
Kami bersaksi semoga berhasil, dan semoga hidup
Semoga tetap, semoga langgeng kehidupannya
Nyi Pohaci Sang Hiyang Asri
Berjodoh dengan bumi dari pertiwi

Setelah prosesi tersebut, maka bakul pun dibawa dan diputar-putar dengan diiringi suara angklung. Setelah itu, maka bakul yang berisi padi pun dibawa ke rumah Girang Saurat. Dan keesokan paginya sekitar pukul 05.00 atau dalam bahasa Baduy saat jenari gede, bakul pun diambil dari rumah Girang Saurat dan dibawa secara bersama-sama menuju huma serang dan huma tuladan. Prosesi ini dilakukan oleh para wanita dengan berselendang putih dan juga diiringi suara angklung dengan lagu pileuleuyan (selamat tinggal). Dalam bakul yang berisi benih padi tersebut, biasanya diletakkan cocooan Nyi Pohaci (mainan Nyi Pohaci) yakni biji picung, biji muncang dan dua jenis kerang dan bunga karang.

Setelah mereka sampai dilokasi huma yang dituju, maka bakul berisi benih pun ditempatkan di lokasi yang dianggap cocok, dan tempat itu biasanya diberi nama pupuhunan (pusat sakral seluruh perladangan). Di tempat itu diletakkan juga beraneka barang seperi rujak, sisir kayu, keris, sirih-pinang, kaca, kelapa dan anak pohon pisang, dan kayu garu. Setelah itu maka diperdengarkan suara musik angklung.

Setelah semua dianggap cukup, maka kokolot pun membacakan mantra dan kemudian membuat aseuk (alat menugal) dan dilumuri wewangian. Setelah itu, ia membuat tujuh buah lubang di bagian pupuhunan dan tujuh lubang di sekitar pupuhunan tadi. Hal ini dijadikan simbol di mulainya kegiatan ber-huma.[5] Kegitan tersebut menurut warga Baduy adalah kegiatan nibakeun pare atau dalam bahasa lain disebut nitembeuyan yang bermakna menjatuhkan padi sebagai simbol dimulainya kegiatan berladang.

Setelah itu, maka seluruh warga Baduy pun melakukan penanaman. Dilokasi huma serang yang akan ditanami padi, dibagi kedalam lima bagian; 1). Bagian selatan pupuhunan ditanami pare koneng; 2). Di sebelah barat daya juga ditanami pare koneng; 3). Di sebelah barat laut ditanami pare ketan; 4). Di sebelah timur lau ditanami pare bodas (padi putih); 5). Di sebelah tenggara ditanami pare siang. Setelah lahan huma dibagi, maka para pria Baduy pun melakukan ngaseuk (menugal) dan diiringi dengan para wanita yang harus mengenakan kerudung dan berselendang putih dibelakangnya dalam rangka meletakkan benih padi di lubang yang telah dibuat.

Ketika kegiatan menanam padi selesai, maka seluruh warga Baduy yang ada disitu saling bersalaman. Kemudian mereka pun beristirahat sambil makan sirih dan kemudian makan siang secara bersama-sama. Kegiatan itu dinamai dengan anun.

Keenam, setelah proses ngaseuk selesai, maka mereka pun menunggu padi tumbuh. Ketika sudah tumbuh, maka prosesi lanjutan dalam kegiatan berhuma pun dilakukan. Proses itu dinamakan dengan Ngirab Sawan. Dari segi bahasa, “ngirab” bermakna membuang atau membersihkan. Sedangkan “sawan” bermakna sampah. Jadi “ngirab sawan” adalah prosesi membuang atau membersihkan berbagai kotoran atau sampah yang ada disekitar huma yang sudah ditanami padi. Sampah yang dimaksud bisa dimaknai rumput-rumput yang akan mengganggu pertumbuhan padi, ranting-ranting yang jatuh. Kegiatan ini harus dilakukan sampai sebelum masa panen tiba. Dalam kegiatan ngirab sawan ini biasanya lebih banyak dilakukan oleh para wanita dibandingkan para pria Baduy.

Ketujuh, setelah padi sudah dianggap cukup masak, maka prosesi selanjutnya pun dilakukan. Prosesi itu dinamai dengan mipit. Mipit adalah kegiatan memetik padi sebagai simbol di mulainya panen. Kegiatan mipit ini dilakukan oleh istri Girang Saurat. Padi yang di-mipit adalah padi yang berada di pupuhunan. Pola mipit biasanya dipotong pada bagian tangkainya. Setelah padi selesai di mipit, maka dikumpulkan dan diikat dengan tali teureup pada bagian tangkainya. Setelah diikat, maka oleh istri Girang Saurat dibawa dan diletakkan di dalam leuit.

Dalam proses mipit yang dilakukan oleh istri Girang Saurat, maka ada prosesi sakral yakni prosesi pembakaran kemenyan, pemberian sesajen (sesaji) dan pembacaan mantra yang dilakukan oleh Girang Saurat sendiri. Dalam proses mipit biasanya harus disamakan waktunya dengan waktu ketika ngaseuk. Setelah proses mipit oleh istri Girang Saurat selesai, maka seluruh warga Baduy dibolehkan untuk memanen padi milik masing-masing.

Kedelapan, setelah mipit selesai, maka tibalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Baduy yakni waktu Dibuat (panen). Proses dibuat ini harus berurutan dengan waktu mipit, karena jika terlambat, maka menurut warga Baduy dikhawatirkan penyakit padi akan menyerangnya, dan penyakit tersebut di antaranya kungkang atau walangsangit.[6] Proses dibuat ini kadang membutuhkan waktu berhari-hari. Karena ketika waktu panen tiba, terkadang warga Baduy sampai menginap dihutan dimana tempat huma itu berada. Setelah dibuat selesai, maka mereka mengeringkannya dengan cara dijemur. Ketika sudah dianggap kering, mereka membawanya dengan cara dipikul atau diunjal dan dimasukkan ke dalam leuit atau lumbung padi.

Kesembilan, setelah semua padi sudah dimasukan ke dalam leuit, maka kegiatan selanjutnya adalah syukuran atau dalam bahasa mereka disebut dengan “Nganyaran”. Kegiatan nganyaran ini adalah kegiatan memasak nasi baru hasil panen. Dalam kegiatan ini, warga Baduy mengambil lima pocong (ikat) padi dari hasil panen dari huma serang. Kelima pocong tersebut kemudian di bawa ke saung lisung untuk ditumbuk. Kegiatan menumbuk padi ini biasanya dilakukan oleh para istri petinggi adat Baduy, di antara mereka adalah; istri puun, istri girang saurat, istri tangtu, istri baresan dan istri mantaan puun.

Setelah penumbukan padi selesai, maka padi pun diletakkan di boboko yang terbuat dari bambu dan juga diberi wewangian, dan kemudian di bawa ke rumah girang saurat untuk dimasak. Setelah di masak, maka nasi tersebut dibentuk menjadi congcot atau sejenis tumpeng. Congcot tersebut kemudian dibawa ke rumah puun untuk dibacakan mantra dan do’a-do’a. Setelah pembacaan selesai, maka nasi tersebut pun kemudian dibagikan keseluruh warga yang hadir untuk dibawa pulang dan dimakan bersama anggota keluarga masing-masing.

Sambil pulang membawa bagian congcot, mereka juga mengambil beberapa butir padi dari huma serang yang sudah disiapkan di gelodok bale. Dalam kepercayaan Baduy, jika padi dari huma serang tersebut banyak yang tersisa, maka masyarakat Baduy mempercayainya bahwa hasil panen diseluruh warga Baduy akan berlimpah ruah.

** Jika saudara hendak mengutip sebagian atau seluruh isi tulisan dari blog ini, mohon untuk mencantumkan asal rujukannya (baduybantenheritage.blogspot.com). Terimakasih.



[1] Salah satu bukti bagaimana kewajiban memelihara keutuhan tanah Baduy bisa dilihat ketika mereka menginginkan adanya perda terkait khusus dengan komunitas Baduy. Keinginan masyarakat Baduy itu pun direspon pleh pemerintah daerah tingkat II Kabupaten Lebak dengan mengeluarkan dua Perda; 1). Perda terkait dengan pembinaan dan pengembangan lembaga adat masyarakat Baduy Kabupaten Lebak No: 13 Tahun 1990; 2). Perda terkait Perlindungan atas hak ulayat masyarakat Baduy No: 32 Tahun 2001.
[2] Dalam kepercayaan masyarakat Baduy, ada dua jenis bintang yang selalu dijadikan patokan dalam kegiatan berladang; a). bintang kidang atau mereka juga menyebutnya dengan bintang waluku; b). bintang kartika atau disebut juga dengan bintang gumarang.
[3] Hasil wawancara dengan Ayah Mursid, pada hari sabtu 16 November 2010.
[4] Biasanya bakul yang dijadikan simbol tersebut diperuntukan untuk ditanam di huma serang.
[5] Berdasarkan hasil wawancara dengan elite adat Baduy, pembuatan tujuh lubang dibagian dalam pupuhunan tersebut dimaknai bahwa dua lubang yang ditani dengan pare koneng (padi kuning) bermakna bagian kepala dan lima lubang yang ditanami pare linggasari lagi dimaknai bagian leher. Sedangkan tujuh buah lubang yang ada dibagian luar pupuhunan ditanami pare bereum (padi merah) dimaknai sebagai simbol lengan.
[6] Kepercayaan masyarakat Baduy ini muncul karena menurut hitungan perbintangannya adalah bahwa ketika bintang kidang menghilang, maka akan turun kungkang. Dalam kepercayaan Baduy, penyakit dimaknai sebagai lelembut, siluman atau makhluk halus yang akan membawa penyakit.

1 komentar: