Rabu, 24 Agustus 2011

** Upacara Perkawinan Orang Baduy

Upacara Perkawinan Orang Baduy

Oleh: K. Muhamad Hakiki

Pada bagian ini akan coba ditelusuri lebih jauh bagaimana praktek atau upacara dari perkawinan Orang Baduy.

Berdasarkan hasil pengamatan terkait proses perkawinan yang ada di masyarakat Baduy, ternyata ada dua model proses perkawinan. Proses perkawinan yang di lakukan pada masyarakat Baduy Tangtu dan Baduy Panamping memiliki perbedaan.

Pada masyarakat Baduy Tangtu, ketika ke dua keluarga atau pihak telah sepakat untuk saling menjodohkan anaknya, maka untuk sampai pada tujuan utama yakni melakukan perkawinan, biasanya mereka melakukan beberapa prosesi ritual adat yang sudah ditentukan secara turun temurun. Adapun prosesi adat pra-perkawinan yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Baduy adalah prosesi pelamaran atau dalam bahasa mereka disebut dengan “lalamar”. 

Dalam proses pelamaran, biasanya dilakukan sebanyak tiga tahap.

Lamaran pertama, dilakukan di rumah pihak perempuan pada waktu sore hari. Proses lamaran ini dilakukan ketika anak-anak mereka masih berada di ladang. Biasanya pihak orang tua pria mendatangi rumah orang tua si perempuan dengan membawa sirih pinang sebagai simbol bahwa kedatangan mereka akan melamar anaknya. Setelah ada kesepakatan antara pihak laki-laki dan perempuan, maka pihak laki-laki pun mendatangi Jaro Tangtu dalam rangka bermusyawarah membicarakan maksudnya akan mengawinkan anaknya. Ketika berkunjung menemui Jaro Tangtu, pihak laki-laki biasanya membawa perlengkapan syirih atau nyirih dalam bahasa mereka sebagai syarat wajib yang harus dilakukan dalam proses lamaran pertama. Dalam pertemuan ini, agenda yang dibicarakan adalah prihal penentuan waktu (hari, tanggal, dan bulan) untuk proses lamaran kedua.[1] Setelah pembicaraan itu selesai, maka Jaro Tangtu pun keesokan harinya membicarakan kepada Puun sebagai petinggi warga Baduy dalam rangka meminta petunjuk dan keputusan terkait dengan rencana salah satu warganya yang akan menikahkan anaknya.

Lamaran kedua, bila maksud lamaran pihak pria diterima oleh orang tua pihak perempuan, maka delapan bulan kemudian, keluarga pihak pria dengan membawa calon pengantin pria mendatangi rumah calon istrinya. Pada lamaran tahap kedua ini, biasanya dilakukan acara nyereuhan atau dalam bahasa lain tukar cincin. Dalam acara lamaran kedua ini juga kembali dibicarakan terkait dengan waktu perkawinan. Dalam tahap kedua ini, seluruh warga Baduy Tangtu biasanya hadir untuk menjadi saksi. Proses lamaran tahap kedua ini dilakukan di tempat khusus namanya Balai Adat.

Dalam sesi lamaran kedua ini, orang tua pihak pria menyerahkan anak yang akan dinikahkan untuk bekerja di ladang milik calon mertuanya. Ketika pihak perempuan merasa cocok dengan hasil kerja calon menantunya, maka biasanya diteruskan sampai enam bulan bahkan satu tahun. Hal ini dilakukan agar pihak perempuan mengetahui bahwa calon menantunya betul-betul bisa bekerja dan bisa bertanggungjawab atas keluarganya kelak. Ketika proses penilaian ini selesai, dan pihak perempuan merasa yakin atas kemampuan calon menantunya, maka proses lamaran ke tiga pun dilakukan.

Lamaran ketiga. Pada sesi lamaran ketiga ini, pihak laki-laki kembali mendatangi pihak perempuannya dengan maksud menegaskan keinginannya untuk menjodohkan anaknya. Pada proses lamaran ketiga ini, biasanya pihak laki-laki membawa seserahan berupa seperangkat kebutuhan dapur (alat-alat dapur) termasuk beras. Dalam sesi lamaran ketiga ini juga dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Puun dan perangkat adat Baduy. Acara dalam sesi lamaran ketiga ini masyarakat Baduy menyebutnya dengan proses seserenan atau dalam bahasa lain disebut dengan seserahan. Jika kita perhatikan, praktek serah-serahan seperti ini memang bukanlah hal yang aneh, karena cara ini pun biasanya dilakukan oleh masyarakat di luar Baduy.

Ada proses ritual yang menarik dalam acara tahap lamaran ketiga ini. Proses ini sangat sakral sehingga tidak boleh terlewatkan. Proses yang dimaksud adalah pembacaan syahadat adat yang dibacakan secara langsung oleh Puun untuk kedua belah pihak yang akan melangsungkan pernikahan.[2] pembacaan syahadat batin ini berfungsi sebagai sumpah setia agar pertalian jodoh mereka awet dan tidak ada perceraian dikemudian hari.

Setelah proses lamaran selesai, maka acara kawin adat ala tradisi Baduy pun dilakukan. Prosesi perkawinan Baduy biasanya dilakukan sampai tiga hari. Pada hari pertama biasanya diisi dengan acara persiapan pra perkawinan dengan menyiapkan semua kebutuhan pesta perkawinan. Pada hari pertama ini juga semua kerabat—baik dari pihak pria maupun wanita—berkumpul di tempat pengantin. Pada hari kedua, diadakanlah upacara selamatan baik di rumah pria maupun wanita. Upacara ini dilakukan sebagai rasa syukur dan berdoa kepada Sang Batara Tunggal dan para karuhun agar acara perkawinan tersebut dapat berjalan dengan lancer. Biasanya yang hadir dalam acara selamatan ini adalah kerabat terdekat dilingkungan masing-masing. Pada upacara selamatan ini dipimpin oleh tangkesan atau dukun kampung. Acara selamatan ini dilakukan pada waktu menjelang malam hingga tengah malam. Pada waktu yang bersamaan juga diadakan upacara selamatan di Bale yang dihadiri oleh masing-masing utusan pihak pengantin dan dihadiri juga oleh Puun, Jaro dan kerabat pihak pengantin. Acara ini dipimpin langsung oleh Puun. Pada acara ini, Puun memanjatkan doa-doa dan syahadat ala Baduy. Syahadat tersebut berbunyi;

Asyhadu sahadat sunda
Jaman Allah ngan sorangan
Kaduana Nabi Muhammad
Nu cicing dibumi anggarincing
Nu calik, calikna di alam keueung
Ngacacang dialam mokaha
Salamet umat Muhammad

Setelah acara selamatan pada hari kedua selesai, maka pada hari ketiganya adalah puncak dari acara perkawinan. Sebelum sang pengantin dibawa ke Balai Adat, biasanya si mempelai terlebih dahulu di rias dengan tatarian ala Baduy. Setelah itu, maka si mempelai wanita pun di bawa ke Balai Adat atau pendopo kepuunan. Acara ini dilakukan pada siang hari dengan langsung dipimpin oleh Jaro Tangtu.

Pada acara ini ini kegiatan yang dilakukan adalah ngabokor yakni penyerahan seperangkat sirih dan pinang yang diletakkan di atas bokor yang terbuat dari logam kepada Puun oleh Jaro. Dalam ritual penyerahan ini Jaro mengucapkan kata-kata;

“Tabe puun Girang
(Salam Takzim Tuan)
Ngaing kadatangan ku rakyat turunan Sunda
(Aku kedatangan oleh rakyat keturunan sunda)
Sejana ndeuk ngahalimpukeun anak-anakna
(Maksud mereka hendak mengawinkan anak-anaknya)
Muga kauninga jeung kawidian ku Girang
(Mohon dimaklum dan diijinkan oleh Tuan)
Ku para ayah nu aya, nu teu aya
(serta para tetua yang ada maupun yang tidak ada)
Ngan bae neda tawakupna
(Namun mohon dimaafkan)
Najan rumasa jeung tetela maranehna teu turunan Sunda
(Walaupun mereka mengaku dan memang terbukti keturunan Sunda)
Anu biasa ngahiyang, kuduna mah rebo ku babawaan
(yang terbiasa menghiyang, seharusnyalah mereka membawa bawaan)
Pikeun ngahalimpukeun eta dua panganten
(untuk mengawinkan kedua pengantin)
ukur bisa mawa seupaheun satektekun”
(tapi mereka hanya membawa sirih pinang sepahen)

Nampaknya tidak hanya sirih pinang satu bokor yang diserahkan kepada Puun, sang kerabat pengantin pun kemudian menyerahkan sepiring nasi dan ikannya kepada Puun. Setelah itu, Puun pun kemudian berdo’a dan membaca mantra-mantra keselamatan yang kemudian ditiupkan kepada sepiring nasi yang disajikan tersebut. Setelah itu, sepiring yang sudah dibacakan mantra itu pun kemudian diserahkan kembali kepada sepasang pengantin tersebut. Setelah itu pun masing-masing penganten saling menyuapi satu sama lain secara bersama-sama. Setelah itu, maka seluruh kerabat dan perangkat kepuunan yang terlibat pun kemudian makan bersama.

Setelah makan bersama selesai, maka upacara pembasuhan kaki pengantin pria oleh pengantin wanita pun dimulai. Dalam upacara ini, pengantin wanita mengambil air ke pancuran dan sang suami pun menunggu di gelodog balai adat. Pembasuhan ke dua kaki suami oleh sang istri dipecayai oleh masyarakat Baduy sebagai simbol tugas dan kesetiaan istri pada suami. Dengan dibasuhnya kaki suami oleh istrinya, maka berakhirlah rangkaian upacara perkawinan di Balai Adat.

Setelah upacara adat di Balai Adat selesai, maka acara selanjutnya dengan diantarkan Jaro, upacara lanjutan pun dilakukan dirumah mempelai wanita. Setibanya mereka berdua di rumah mempelai wanita, maka keduanya pun didudukkan secara bersandingan. Mereka pun diminta duduk menghadap Jaro. Dan Jaro pun menggenggam ke dua ibu jari pasangan pengantin dan kemudian memantrainya. Di akhir ucapan mantra tersebut berbunyi:

“Tah ti kiwari mah sagala rupa ge bagian dia duaan”

Artinya:
“Nah sejak saat ini segala macam urusan menjadi bagia kalian berdua”

Setelah bacaan mantra oleh Jaro selesai, maka sejak saat itu mereka telah disahkan sebagai pasangan suami istri yang akan membina sebuah keluarga. Upaca ritual adat pun kemudian dilanjutkan pada malam hari. Seluruh kerabat pengantin diminta untuk datang dan menikmati menu makanan yang telah disiapkan. Di sela acara makan bersama, mereka dihibur oleh juru pantun.

Jika di wilayah Baduy Tangtu, Puun bisa merangkap sebagai penghulu. Akan tetapi berbeda dengan wilayah Baduy Panamping. Pada masyarakat Baduy Panamping, penghulu bisa merupakan tokoh kampung Cicakalgirang dan bisa juga tokoh yang berasal dari luar wilayah Baduy.

Pada masyarakat Baduy Tangtu perkawinan hanya dilakukan secara adat Baduy saja. Berbeda dengan Baduy Panamping, biasanya setelah kawin adat selesai dilakukan, maka mempelai laki-laki dengan ditemani salah seorang kerabatnya pergi ke amil dikampung Cicakalgirang. Di kampung Cicakalgirang ini-lah satu-satunya kampung Baduy yang sebagian besar penduduknya sudah beragama Islam. Keberadaan kampung Islam di Baduy ini, bagi masyarakat Baduy dianggap perlu sebagai salah satu bentuk pengesahan perkawinan yang telah dilakukan. Proses ini menarik untuk diamati, masyarakat Baduy yang kepercayaannya berbeda dengan umat Islam umumnya, tetapi dalam tradisi perkwawinan ia tetap mengacu kepada aturan yang diterapkan oleh agama Islam.

Jika dilihat dari ketentuan adat ini, maka ada beberapa pesan yang bisa ditemukan;

pertama, masyarakat Baduy merasa penting adanya ketentuan proses perkawinan yang disahkan tidak hanya menurut adat, akan tetapi juga menurut agama konvensional dan hukum negara.

Kedua, pola pernikahan seperti ini dilakukan oleh masyarakat Baduy sebagai rasa hormat akan kesultanan Banten yang pernah menjadi raja (penguasa) di tanah Banten  yang beragama Islam termasuk didalamnya tanah Baduy, dan hal ini diwujudkan dengan ketentuan adat yang mengharuskan pernikahan masyarakat Baduy memakai cara adat dan hukum Islam.

Khusus bagi masyarakat Baduy Panamping (Luar), sebelum proses pernikahan di mulai, mempelai laki-laki mengucapkan ikrar (syahadat) dengan bahasa sunda kuno. Syahadat itu hampir mirip dengan kalimat sahadat yang dipakai dalam Islam. Sedangkan dalam proses ritual perkawinan, di masyarakat Baduy Tangtu (Dalam) yang disebut dengan kawin batih (kawin kekal) dihadapan Puun, kedua mempelai dan orang tuanya mengucapkan sadat tangtu, yang berbeda isinya dengan syahadat Panamping.

Bagai masyarakat Baduy yang ekonominya dianggap mampu, setelah proses akad perkawinan selesai, biasanya kedua mempelai pengantin dihias oleh seorang juru aes (ahli rias). Sebelum acara pesta perkawinan di mulai, terlebih dahulu dilaukan upacara adat yang dipimpin oleh dukun adat, dan dihadiri oleh kerabat kedua belah pihak termasuk masyarakat luas.

Tidak hanya itu, bagi orang Baduy yang ekonominya berkecukupan biasanya menghadirkan acar-acara hiburan seperti; mengundang pemain gamelan untuk memeriahkan pesta perkawinan di siang hari, dan pada malam harinya dimeriahkan dengan permainan pantun yang diiringi alat musik kecapi.

** Jika saudara hendak mengutip sebagian atau seluruh isi tulisan dari blog ini, mohon untuk mencantumkan asal rujukannya (baduybantenheritage.blogspot.com). Terimakasih.



[1] Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat Baduy dalam hal ini yang menangani secara khusus terkait perkawinan yakni Tangkesan, bahwa penentuan waktu untuk perkawinan sangatlah sakral. Biasanya proses perkawinan hanya pada bulan Kalima, Kanem, Kapitu menurut aturan penanggalan adat Baduy. Jika calon pengantin tidak terjadwalkan pada bulan-bulan tersebut karena penuh, maka ia harus menunggu pada tahun berikutnya.
[2] Ada banyak ragam sahadat dalam kepercayaan masyarakat Baduy, di antaranya; sahadat wiwitan, sahadat tunggal, sahadat samping, sahadat batin, dan terakhir sebagai pelengkap adalah sahadat kanjeung Nabi Muhammad Saw.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar