Rabu, 24 Agustus 2011

** Makna Perkawinan Bagi Orang Baduy

Persepsi Masyarakat Baduy Tentang Makna Perkawinan

Oleh: K. Muhamad Hakiki

Perkawinan; Sebuah Kewajiban
Bagi masyarakat Baduy sendiri, perkawinan merupakan sesuatu yang sakral. Karena alasan itu-lah maka tata cara perkawinan pun—dimulai dari proses peminangan sampai membina rumah tangga—juga diatur dalam ketentuan adat Baduy yang mengikat.

Bagi masyarakat Baduy, prinsip hidup berumah tangga adalah hidup selamanya. Dalam persepsi masyarakat Baduy, jika seseorang sudah menentukan pasangan hidupnya, maka ia harus-lah bertanggung jawab terhadap keluarganya termasuk di dalamnya dilarang untuk menyakiti pasangan hidupnya dalam bentuk apa pun.

Masyarakat Baduy meyakini bahwa perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting, dan wajib dilakukan oleh seluruh masyarakat Baduy tanpa terkecuali. Menurut mereka, perkawinan adalah merupakan hukum alam yang harus terjadi dan dilakukan oleh setiap manusia tanpa terkecuali. Orang Baduy menyebutnya perkawinan sebagai rukun hirup, artinya bahwa perkawinan harus dilakukan, karena jika tidak maka ia akan menyalahi kodratnya sebagai manusia.

Ungkapan tersebut dengan jelas diutarakan oleh salah seorang sesepuh Baduy sendiri bernama Ayah Mursid. Ia mengatakan; ”Berbicara alam dunya teu bisa leupas jeung ngaran manusa. Sabab alam dunya teu dititipkeunana ka manusa, keur ngamumule jeung melihara alam supaya nyambung maka manusa kudu boga katurunan, anak, incu, buyut bisa aya cukang lantarana manusa kawin makana perkawinan ieu hiji kawajiban atawa rukun hirup manusa supaya ieu dunia bisa terus langgeng”.[1] (Artinya: berbicara tentang dunia tidak terlepas dari yang namanya manusia. Sebab alam dunia ini dititipkan pada manusia, untuk menjaga dan memelihara alam agar supaya tetap berkelanjutan, karena itu, maka manusia harus mempunyai keturunan; anak, cucu, adanya buyut karena manusia kawin, makanya perkawinan adalah sebuah kewajiban atau disebut dengan ”rukun hidup” manusia agar dunia ini tetap langgeng).

Baduy; Anti Poligami

Ketika saya berdialog dengan sesepuh Baduy, ada hal yang membuat saya heran dan takjub. Sebuah masyarakat yang katanya tidak modern, kolot, dan terasing itu, ternyata ada sebuah kearifan yang harus ditiru. Kearaifan itu adalah adanya pelarangan adat Baduy yang melarang masyarakat Baduy untuk melakukan poligami.

Lalu bagaimana orang Baduy memandang perkawinan?. Di atas sudah dijelaskan bahwa perkawinan bagi orang Baduy adalah merupakan rukun hirup. Karena itu, masyarakat Baduy mempercayai bahwa perkawinan sangat bernilai luhur. Wujud dari keyakinan itu, maka dalam aturan adat dikatakan bahwa apapun tindakan atau perbuatan yang akan membuat tepecahnya keluarga adalah dilarang. Salah satu pelarangan itu adalah terkait dengan poligami.

Dalam aturan adat Baduy baik Tangtu maupun Panamping, praktek poligami sangat dilarang. Karena bagi masyarakat Baduy sendiri, menikah cukup satu kali seumur hidup, terkecuali salah satu diantaranya meninggal maka ia diperbolehkan untuk menikah lagi. Praktek poligami bagi masyarakat Baduy justru akan membuat terpecahnya keutuhan masyarakat Baduy itu sendiri. Bahkan dalam ketentuan adat Baduy Tangtu, perceraian pun dilarang, akan tetapi dalam Baduy Panamping, sudah dikenal adanya perceraian, akan tetapi masih relatif sedikit. Dengan aturan adat yang ketat ini, maka hampir sulit menemukan pasangan suami istri yang bercerai seperti banyak yang terjadi dikalangan masyarakat luar Baduy.

Batas Usia Calon Pengantin

Dalam tata cara perkawinan yang diperaktekkan masyarakat Baduy, dan demi untuk menjaga harmonisasi keluarga, maka aturan tentang batas usia minimal juga menjadi poin penting untuk pertimbangan oleh adat Baduy. Hal ini penting diatur, mengingat, dalam membina keluarga dibutuhkan mental yang kuat agar segala beban hidup berkeluarga dapat diselesaikan dengan tanpa mengorbankan keutuhan keluarga. Alasan lain kenapa masyarakat Baduy  melarang anak-anak mudanya untuk menikah muda karena ada anggapan bahwa jika menikah muda akan dapat merusak atau tidak baik bagi keturunan yakni akan menghasilkan keturunan yang lemah. Karena alasan itu-lah, maka bagi masyarakat Baduy, ketentuan adat yang mengatur seseorang boleh menikah jika si perempuan sudah mencapai usia minimal 14 tahun dan laki-lakinya minimal berusia 17.

Ketatnya aturan adat tentang batas minimal warga Baduy boleh melakukan pernikahan karena hal ini merupakan ajaran sakral sebagaimana tercatat dalam naskah Sanghiyang Siksakanda Ng Karesian pada tahun 1518 M. Di antara isinya adalah; ”inilah ketentuan untuk kita menjodohkan anak, jangan dikawinkan terlalu muda. Tidaklah baik menjodohkan anak di bawah umur, karena nanti kita terbawa salah dan nanti yang mengawinkannya disalahkan juga”.[2]

Meskipun aturan adat begitu ketat melarang prilaku nikah muda, akan tetapi ketika saya terjun kelapangan, ternyata masih ada juga beberapa masyarakat Baduy—terutama Baduy Panamping—yang berani melanggar ketentuan adat prihal batas minimal seseorang boleh menikah. Di sebagian masyarakat Baduy, terutama Baduy Panamping ternyata batas minimal seseorang boleh menikah terkadang tidak menjadi patokan, mereka berprinsip asalkan terlihat sudah bisa bertanggung jawab, maka pernikahan itu pun diizinkan. Bahkan tak jarang ditemukan praktek perkawinan yang masih di bawah umur, khususnya pada kalangan perempuannya, yaitu antara usia dua belas sampai dengan lima belas tahun. Bahkan ada pula yang menikah dibawah usia dua belas tahun. Praktek perkawinan di bawah umur ini bagi masyarakat Baduy dikenal dengan istilah “kawin gantung” yakni praktek perkawinan yang tidak seperti biasanya yakni hanya dilakukan secara akad saja dan biasanya secara sembunyi-sembunyi.

** Jika saudara hendak mengutip sebagian atau seluruh isi tulisan dari blog ini, mohon untuk mencantumkan asal rujukannya (baduybantenheritage.blogspot.com). Terimakasih.


[1] Hasil wawancara dengan sesepuh Baduy bernama Ayah Mursid (Bapak Alim) pada tanggal 29 Oktober 2009.
[2] Danasasmita, S: dan Djatisunda A, Kehidupan Masyarakat Kenekes, Bandung, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Sundanologi Dirjen Kebudayaan Depdikbud, 1981, hlm. 25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar